Assalamu 'alaikum wr. wb.
Ustadz, mohon pencerahannya tanpa bermaksud mengungkit perbedaan.
Ada sementara kalangan yang punya pandangan bahwa pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Menteri Agama Republik Indonesia bukan ulil amri dan tidak berwenang menetapkan jadwal Ramadhan.
Buat mereka, seharusnya pemerintah tidak usah ikut-ikutan mengurusi masalah agama, urus saja urusan negara. Misalnya urusan berapa lama hari libur lebaran. Sedangkan kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan dan lebaran 1 Syawwal, biar diserahkan kepada khalayak umat Islam sendiri secara internal.
Intinya ungkapan ini bermaksud bahwa siapa saja boleh dan berwenang untuk menetapkan jadwal Ramadhan, dan bukan cuma negara atau pemerintah saja.
Bagaimana kita memandang masalah ini, ustadz. Apakah pemahaman ini bisa diterima atau tidak?
Syukran wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tanpa bermaksud untuk menghakimi dan mencari-cari kesalahan, mari kita diskusikan masalah ini dengan hati yang lapang dan tenang. Kita lepaskan dulu ikatan-ikatan emosional dan semangat pembelaan kepada kelompok, kita mendalami ilmu agama tanpa ada ikatan apapun kepada pihak mana pun.
Memang benar ada yang berpendapat seperti yang Anda ungkapkan di atas, yaitu pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Menteri Agama Republik Indonesia dianggap bukan ulil amri dan tidak berwenang menetapkan jadwal Ramadhan.
Salah satu yang menyebutkan hal ini adalah Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc. MA, salah satu ketua PP Muhammadiyah. Dan hal itu juga dikuatkan oleh ketua umumnya, Prof. Dr. Din Syamsudin. Kemudian menjadi pendapat resmi dari hampir seluruh warga Muhammadiyah, temasuk mereka yang ikut sependapat.
Sementara di sisi lain, sebagian besar rakyat Indonesia, begitu juga perwakilan seluruh ormas Islam yang besar (kecuali Muhammadiyah tentunya) berpaham bahwa keputusan kapan jatuhnya 1 Ramadhan dan 1 Syawwal itu sepenuhnya wewenang dan hak preogratif pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama RI, lewat Sidang Isbat yang rutin dilakukan tiap tahun.
Artinya, walaupun tiap-tiap ormas punya team hisab atau rukyat sendiri, dan hasilnya bisa saja berbeda dengan yang lain, namun mereka sepakat untuk menyerahkan wewenang itu kepada hasil sidang itsbat dan juga kepada Menteri Agama RI, siapa pun yang menjabatnya.
Maka terjadilah perbedaan awal puasa di tahun 2013 ini. Muhammadiyah mulai puasa hari Selasa dan yang lain bersama-sama dengan pemerintah memulai puasa hari Rabu.
Dan kemudian masalah ini menjadi ramai diperbincangkan, mulai dari diskusi ringan dan santai, sampai diskusi yang main ngotot-ngototan dan gebrak meja.
Perbedaan Dasar Pandangan
Kalau kita amati lebih dalam, sesungguhnya penyebab dasar segala perbedaan ini bukan terletak pada perbedaan metode hisab atau rukyat. Sebab sesama yang menggunakan hisab saja pun bisa berbeda menjadi beberapa hari. Dan sesama yag menggunakan rukyat pun juga demikian.
Demikian juga perbedaan awal Ramadhan yang terjadi antara negara Islam, bukan sesuatu yang baru terjadi dan menggoncangkan. Sebab sejak zaman para shahabat pun sudah terjadi perbedaan awal Ramadhan antara Syam dan Madinah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Kuraib.
Yang menjadi sebab dasar perbedaan sesungguhnya adalah perbedaan dalam dua hal fundamental, yaitu :
Memang benar ada yang berpendapat seperti yang Anda ungkapkan di atas, yaitu pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Menteri Agama Republik Indonesia dianggap bukan ulil amri dan tidak berwenang menetapkan jadwal Ramadhan.
Salah satu yang menyebutkan hal ini adalah Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc. MA, salah satu ketua PP Muhammadiyah. Dan hal itu juga dikuatkan oleh ketua umumnya, Prof. Dr. Din Syamsudin. Kemudian menjadi pendapat resmi dari hampir seluruh warga Muhammadiyah, temasuk mereka yang ikut sependapat.
Sementara di sisi lain, sebagian besar rakyat Indonesia, begitu juga perwakilan seluruh ormas Islam yang besar (kecuali Muhammadiyah tentunya) berpaham bahwa keputusan kapan jatuhnya 1 Ramadhan dan 1 Syawwal itu sepenuhnya wewenang dan hak preogratif pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama RI, lewat Sidang Isbat yang rutin dilakukan tiap tahun.
Artinya, walaupun tiap-tiap ormas punya team hisab atau rukyat sendiri, dan hasilnya bisa saja berbeda dengan yang lain, namun mereka sepakat untuk menyerahkan wewenang itu kepada hasil sidang itsbat dan juga kepada Menteri Agama RI, siapa pun yang menjabatnya.
Maka terjadilah perbedaan awal puasa di tahun 2013 ini. Muhammadiyah mulai puasa hari Selasa dan yang lain bersama-sama dengan pemerintah memulai puasa hari Rabu.
Dan kemudian masalah ini menjadi ramai diperbincangkan, mulai dari diskusi ringan dan santai, sampai diskusi yang main ngotot-ngototan dan gebrak meja.
Perbedaan Dasar Pandangan
Kalau kita amati lebih dalam, sesungguhnya penyebab dasar segala perbedaan ini bukan terletak pada perbedaan metode hisab atau rukyat. Sebab sesama yang menggunakan hisab saja pun bisa berbeda menjadi beberapa hari. Dan sesama yag menggunakan rukyat pun juga demikian.
Demikian juga perbedaan awal Ramadhan yang terjadi antara negara Islam, bukan sesuatu yang baru terjadi dan menggoncangkan. Sebab sejak zaman para shahabat pun sudah terjadi perbedaan awal Ramadhan antara Syam dan Madinah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Kuraib.
Yang menjadi sebab dasar perbedaan sesungguhnya adalah perbedaan dalam dua hal fundamental, yaitu :
- Haruskah ada keseragaman dalam memulai Ramadhan dan Lebaran dalam satu negara? Apakah harus satu institusi tertentu saja,ataukah siapa saja boleh berpendapat sesukanya, dan otomatis pasti akan selalu berbeda?
- Kalau harus ada keseragaman, lalu siapa yang berwenang untuk menetapkan jadwal Ramadhan. Apakah pemerintah dalam hal in Menteri Agama RI, atau musyawarah umat Islam?
Tetapi yang lebih kentara adalah pilihan bahwa tidak harus bersatu dan malah harus berbeda. Memang meski memutuskan untuk berbeda, namun selalu diikuti anjuran untuk jangan meributkan masalah khilafiyah. Walaupun sebenarnya dalam kenyataanya agak sulit ditampik bahwa pemicu perbedaan itu sendiri memang datang dari pihak Muhammadiyah.
Sayangnya, kita pun tidak pernah diberi tahu, apa latar belakang kehendak untuk tidak menyatukan ini dan lebih memilih untuk berbeda?
Apakah karena kurang sreg dengan sosok pribadi Menteri Agamanya, yang dianggap bukan ulama, sehingga dianggap kurang berilmu?
Ataukah beranggapan bahwa jabatan Menteri Agama itu jabatan politis dan bukan orang ahli agama, sehingga dianggap tidak berwenang?
Atau harus orang Muhammadiyah dulu yang jadi Menteri Agama baru bisa kompak?
Ataukah memang doktirn dasar Muhammadiyah mengajarkan bahwa kita HARUS SELALU berbeda dan tidak mungkin disatukan, sebagaimana khilafiyah dalam qunut shubuh, jumlah rakaat tarawih dan bacaan ushalli? Dan yang penting jangan mempermasalahkan hal-hal khilafiyah, begitu kah?
Tentu Muhammadiyah yang paling tahu jawabannya.
Bercermin ke Negeri Islam Lain
Sebenarnya siapa yang berwenang mementukan awal Ramadhan tidak pernah jadi bahan perdebatan, kalau kita bicara di negeri muslim yang lain, seperti Mesir dan Saudi Arabia.
Mesir
Sebutlah misalnya Mesir yang rakyatnya kini sedang terancam perpecahan dan perang saudara. Tiap pergantian rezim selalu terjadi lewat kudeta militer dan menelan korban nyawa. Disana ada begitu banyak kelompok yang saling bermusuhan, baik dengan sesama kelompok lain, atau pun juga memusuhi pemerintah. Bahkan tidak sedikit kelompok yang terang-terangan mengkafirkan pemerintah serta menghalalkan darahnya.
Namun ceritanya jadi lain kalau sudah bicara kapan mulai puasa Ramadhan dan lebaran. Mereka kompak-kompak saja dengan pemerintahnya, walaupun sikap politiknya berbeda. Buat rakyat Mesir, wewenang menetapkan satu Ramadhan memang wewenang pemerintah atau negara. Urusan bahwa kita bermusuhan dengan pemerintah lain lagi pasalnya.
Saudi Arabia
Demikian juga dengan Saudi Arabia. Ada begitu banyak kelompok dan aliran di negeri itu. Dan tidak sedikit yang memusuhi pemerintah, bahkan sampai mengkafirkan raja dan keluarganya. Dan tidak terhitung berapa jumlah orang yang ditangkap polisi lantaran menjadi buronan yang dicari-cari negara.
Namun lain urusan politik lain urusan awal Ramadhan. Saya belum pernah mendengar ada kelompok tertentu di Saudi Arabia yang hobinya ngeyel atas keputusan jatuhnya Ramadhan. Semua kompak-kompak saja, tidak ada yang puasa duluan atau belakangan.
Buktinya, saya belum pernah menemukan ada orang dari kelompok manapun yang berinisiatif melakukan wuquf di Arafah pada tanggal 8 atau 10 Dzulhijah, dengan alasan mereka beranggapan jatuhnya bulan Dzulhijjah lebih awal atau lebih lambat. Selalunya wuquf itu tanggal 9 Dzulhijjah dan kompak selalu.
Padahal wuquf itu dihadiri oleh jutaan orang dari berbagai negara dan aliran, bahkan yang syiah pun ada juga. Tetapi mereka sepakat untuk wuquf di hari yang sama, dan mereka mengakui bahwa yang berwenang untuk menetapkan jatuhnya tanggap 9 Dzulhijjah adalah negara atau pemerintah.
Cuma Indonesia Yang Hobi Duluan Atau Belakangan
Sepanjang yang saya ketahui selama ini, cuma di Indonesia saja yang segelintir dari rakyatnya atau mengatas-namakan ormasnya suka puasa dan lebaran duluan. Dan sebaliknya, kadang juga suka puasa atau lebaran belakangan. Duluan atau belakangan maksudnya kalau dikaitkan dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintahnya.
Penyebabnya ya itu tadi, karena sebagian dari anak bangsa kita masih saja ada yang berpikiran bahwa urusan kapan jatuhnya Ramadhan itu boleh diputuskan oleh masing-maing orang sesuai keyakinan. Jadi siapa saja boleh menetapkan sendiri, baik secara pribadi, atau pun lewat kelompoknya masing-masing.
Maka mereka yang punya ormas dan bangga dengan banyaknya pengikut, biasanya merasa berhak untuk menyerukan untuk puasa sesuai maunya mereka sendiri. Bahkan sampai bilang bahwa pemerintah tidak usah ikut-ikutan mengatur.
Kok bisa begitu?
Mari kita kutip pendapat Yunahar Ilyas tentang hal ini :
"Pemerintah itu memang bagian dari ulil amri, tapi ulil amri itu tidak hanya pemerintah saja. Ulil Amri itu Umara’ (penguasa), ulama-ulama, dan Ruasa' (pemimpin), pemimpin itu bisa pemimpin ormas Islam, Ketua RT, Pimpinan Redaksi pun bagian dari Ulil Amri".
Jadi dalam pandangan beliau, siapa saja bisa jadi ulil amri, termasuk pak RT bahkan ketua redaksi penerbitan.
Cara pandang inilah yang membedakan kita bangsa Indonesia ini dengan kebanyakan muslim di berbagai negeri Islam lainnya. Di hampir semua negeri Islam, seluruh rakyatnya sepakat untuk menyerahkan wewenang dan otoritas penetapan jadwal Ramadhan itu kepada pemerintah yang sah.
Selama pemikiran seperti ini masih ada, maka insya Allah sampai kapan pun kita masih akan terus menerus berbeda dalam penetapan awal Ramadhan. Bahkan kalau pun suatu ketika Yunahar Ilyas atau Din Syamsudin menjadi Menteri Agama RI, tetap saja kita akan terus berbeda. Sebab wacana yang dikembangkan adalah : Marilah Kita Berbeda. Bahkan mungkin yang lebih menjadi : Umat Islam Wajib Berbeda.
Bahkan ada yang sambil guyon menyebutkan bahwa peringatan hari kemerdekaan RI tidak harus dilakukan pada tanggap 17 Agustus tiap tahun, tapi boleh saja dilakukan pada tanggal 16 Agustus atau 18 Agustus. Toh, kita boleh berbeda dan silahkan saling menghormati perbedaan.
Pendapat Yang Ingin Menyatukan
Di sisi lain sebenarnya kalau mau jujur kita seluruh bangsa Indonesia ini sangat amat merindukan kekompakan bersama. Memulai Ramadhan bersama dan mengakhirinya bersama juga. Jujur itulah dambaan tiap orang, saya kira.
Dan alhamdulillah, semakin hari sikap-sikap berbagai ormas Islam sudah semakin dewasa saja. Buktinya, saat ini boleh dibilang hampir semuanya sudah kompak, hanya tinggal sisanya beberapa gelintir saja yang masih bersikukuh dengan keinginan untuk selalu berbeda.
Cukuplah perbedaan dalam urusan qunut, rakaat tarawih dan ushalli saja yang kita sepakati berbeda, tetapi jangan lah semua masalah dengan sengaja kita hidupkan perbedaannya. Sebab kasihan umat Islam ini, sudah begitu banyak mereka harus melawan perbedaan dan potensi perpecahan, jangan lagi hanya karena masalah sederhana, mereka masih dibebani lagi dengan potensi konflik lainnya.
Pemerintah : Ulil Amri atau Bukan?
Sebenarnya Yunahar Ilyas sudah menjawab sendiri secara tidak langsung, yaitu pemerintah juga ulil amri, walaupun yang lainnya juga dianggap ulil amri termasuk pak RT.
Dan kalau pemerintah dianggap bukan ulil amri, maka berarti ada standar ganda yang cukup parah. Misalnya, kita sepakat bahwa wanita yang tidak punya wali, maka yang jadi wali adalah ulil amri yang dalam hal ini adalah KUA. Padahal KUA itu diangkat oleh Menteri Agama RI, yang ke-ulil-amri-annya dipermasalahkan.
Maka kalau Menteri Agama bukan ulil amri, berarti ada ribuan pernikahan di negeri kita menjadi tidak sah. Lalu kalau siapa saja berhak jadi ulil amri, maka akan ada pernikahan sembarangan dan seenaknya. Sebab siapa saja bisa jadi ulil amri.
Kalau pun menteri agama dianggap bodoh, jahil, tidak mengerti ilmu agama, bukan ulama, dan seterusnya, lantas kira-kira siapa yang ulama? Apakah keulamaan itu hanya menjadi milik kelompok tertentu saja kah?
Sementara ketika Menteri Agama RI membacakan keputusannya, di belakangnya ada berbagai ahli ilmu falak, ahli hisab dan ahli rukyat, yang mewakili hampir seluruh ormas Islam di negeri ini. Tentu mereka bukan orang bodoh dan jahil seperti yang dituduhkan. Mereka adalah pakar di bidangnya yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Jadi apa yang ditetapkan oleh Menteri Agama RI bukan sekedar keputusan hawa nafsu yang diladasi oleh kebodohan. Justru sebaliknya, malah merupakan representasi dari hampir kebanyakan ulama ahli hisab dan rukyat yang senior dari seluruh Indonesia.
Setidaknya, mereka mewakili umat Islam dari berbagai kalangan. Kalau pun mereka mau egois pun juga bisa, dengan keukeuh mempertahankan ketinggian ilmu masing-masing. Tetapi ternyata mereka lebih mengedepankan kekompakan, dan memang kebetulan hasil ijtihad mereka memang sama.
Ketika mereka bermusyawarah dan didukung oleh pejabat yang berwenang, tentu tidak bisa disalahkan.
Semoga Allah SWT menyatukan hati kita semua dalam taat dan melunakkan sikap ananiyah serta egoisme di dalamnya, Amin ya rabbal alamin.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumah Fiqih Indonesia |
0 comments:
Post a Comment